Sunday, March 23, 2014

Langkah - Langkah Epidemiologi dalam Penanganan Kasus Flu Burung



Masih ingat tentang kejadian flu burung yang sempat menghebohkan dunia itu ? mungkin sebagian kalian sudah banyak yang melupakan tentang kejadian ini atau mungkin juga masih membekas di ingatan kalian. Awal tahun 2014 ini, berita munculnya kembali virus flu burung sempat mengisi acara berita televisi. Beberapa daerah di Indonesia telah terkena dampaknya. Di Lamongan, 994 ekor burung puyuh dalam satu kandang milik  Zuhdi warga Desa Klagensrampat Kecamatan Maduran mati mendadak selama tiga hari berturut – turut (http://surabaya.tribunnews.com/2014/01/16/pdsr-dihentikan-flu-burung-muncul-di-lamongan). Di Wonogiri, 282 ekor itik mati karena positif terinfeksi flu burung (http://www.solopos.com/2014/01/16/flu-burung-wonogiri-ratusan-itik-di-giriwoyo-mati-mendadak-positif-flu-burung-482351). Di Sragen terdapat 3.455 ekor itik mati karena virus AI (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/02/10/n0r5d1-waduh-flu-burung-ancam-warga-di-sragen). Meskipun tak seheboh beberapa tahun lalu, namun hal ini menarik saya untuk kembali mengingat dan mencoba menelaah lebih lanjut tentang virus ini. Melalui tulisan kali ini, saya akan membahas tentang wabah Flu Burung yang sempat menjadi pandemic pada awal tahun 2000-an silam. Lebih khusus lagi, saya akan membahas penyakit ini dari sudut kacamata epidemiologi.

Peran Epidemiologi Dalam Penyakit

Epidemiologi memiliki peran penting dalam mengidentifikasi distribusi dan faktor-faktor yang mempengaruhi suatu penyakit. Dengan kemampuan epidemiologi ini, epidemiologi dapat mengarahkan kepada intervensi yang harus dilakukan. Pada usaha penanggulangan penyakit menular di masyarakat, peran epidemiologi deskriptif sangat penting disini. Epidemiologi deskriptif terutama menganalisis masalah yang ada dalam suatu populasi tertentu serta menerangkan keadaan dan sifat masalah tersebut, termasuk berbagai faktor yang erat hubungannya dengan timbulnya masalah dalam populasi tertentu dengan membandingkan populasi tersebut terhadap populasi lainnya, atau dengan populasi yang sama pada waktu yang berbeda. Disamping itu epidemiologi deskriptif dapat pula memberikan gambaran tentang faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit atau gangguan kesehatan pada suatu populasi tertentu dengan menggunakan analisis data serta informasi lain yang bersumber dari berbagai disiplin ilmu seperti data genetika, biokimia, lingkungan hidup, mikrobiologi, sosial ekonomi, dan sumber keterangan lainnya. (Nur Nasyri Noor: 2008 )
Berkaitan dengan definisi epidemiologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang distribusi penyakit atau masalah kesehatan masyarakat. Hasil pekerjaan epidemiologi deskriptif diharapkan mampu menjawab pertanyaan mengenai faktor who (siapa), where (dimana), dan when (kapan). Siapa (who) mengenai siapa yang terkena masalah. Bisa mengenai variabel umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Faktor-faktor ini biasa disebut sebagai variabel epidemiologi atau demografi. Dimana (where) mengenai faktor tempat dimana masyarakat tinggal atau bekerja, atau dimana saja dimana ada kemungkinan mereka menghadapi masalah kesehatan. Faktor berupa kota (urban) dan desa (rural); pantai dan pegunungan; daerah pertanian, industry, tempat bermukim atau kerja. Kapan (when) berhubungan dengan waktu. Faktor berupa jam, hari, minggu, dll; musim hujan dan musim kering. (M.N Bustan: 2006). 
Berdasarkan penjelasan mengenai epidemiologi diatas, dapat dilihat bahwa untuk menanggulangi kasus penyakit perlu peran dari epidemiologi. Hubungan antara epidemiologi dan penanggulangan penyakit secara singkat dapat dikatakan ‘bagaimana kita bisa menanggulangi dan mencegah penyakit, jika data, distribusi dan faktor penyebab penyakit kita tidak tahu?’. Jadi, dengan mengetahui penyebab terjadinya penyakit, sumber agen infeksi, siapa saja yang mengalami high risk  dan kapan penderita mulai terserang penyakit, kita bisa menentukan langkah apa yang seharusnya kita ambil jika terjadi wabah atau KLB di masyarakat. Untsuk itu, dalam penanggulangan dan pencegahan flu burung, pengetahuan tentang flu burung harus kita kuasai secara masak agar kita tahu intervensi apa yang akan kita lakukan tanpa melakukan kesalahan yang merugikan masyarakat.

Avian Influenza at a Glance

Flu burung atau Avian Influenza ( AI ) adalah penyakit pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dari family Orthomyxoviridae. Virus ini dapat menimbulkan gejala penyakit pernapasan mulai sedang atau bahkan infeksi tanpa gejala sampai dengan akut/fatal pada unggas (ayam, kalkun, itik dan spesies burung lain serta mamalia bahkan dapat menular ke manusia)
Tipe virus AI yang ditemukan di Indonesi adalah Subtype H5N1 yang bersifat ganas/fatal. Walaupun virus ini sangat ganas, namun sangat peka dan tidak tahan terhadap (1). Pemanasan ( inaktif : pada 56°C 3 jam, 60°C 30 menit, 80°C 1 menit (2) Pelarut lemak ( eter, detergen ) (3) Ultraviolet (4) Disinfeksi misalnya dengan asam perasetal, hidroksi peroksia, sediaan ammonium kuartener, formalin 2 – 5 %, iodine/yodium, senyawa fenol, natrium/kalium hipoklorit (klorin)
Penularan virus flu burung hanya terjadi dari unggas ke unggas dan dari unggas ke manusia. Sejauh ini belum ditemukan penularan dari manusia ke manusia. Penularan virus kepada sesama unggas dapat terjadi melalui dua cara, yakni secara langsung dan tidak langsung. Penularan secara langsung terjadi lewat kontak langsung dengan sumber penularan, yakni melalui sekresi hidung dan mata, serta kotoran unggas yang terinfeksi. Sementara itu, penularan secara tidak langsung (kontak tidak langsung) terjadi melalui perpindahan ternak, peralatan, dan pekerja yang terkontaminasi. Namun, penularan tidak langsung yang paling utama terjadi melalui angin yang menyebarkan debu dan bulu yang dicemari oleh virus flu burung.
Selain menular ke sesama unggas, virus flu burung juga dapat menular kepada manusia. Dengan demikian, flu burung termasuk kategori penyakit zoonosis, yakni penyakit berbahaya bagi hewan namun juga dapat menular dan membahayakan manusia. Penularan virus flu burung kepada manusia terutama terjadi melalui udara pernapasan yang terkontaminasi virus. Udara di dalam kandang yang terkontaminasi virus dari kotoran atau sekreta unggas sangat berpotensi terhirup oleh manusia. Akibatnya, virus masuk ke tubuh manusia. Penularan virus dari unggas ke manusia juga dapat terjadi jika manusia bersinggungan langsung dengan unggas yang terinfeksi virus flu burung. Dalam hal ini, para pekerja di peternakan ayam, tempat pemotongan ayam, dan penjamah produk unggas lainnya berpotensi besar terjangkit flu burung.



Adapun gejala-gejala yang ditimbulkan dari virus AI adalah sebagai berikut :

Gejala Pada Unggas
Gejala Pada Manusia
Jengger, pial, kulit, yang tidak ditumbuuhi bulu berwarna biru keunguan (sianosis)
Hampir sama dengan gejala flu biasa
Ada cairan dari mata dan hidung
Demam sekitar 39°C
Pembengkakan di bagian muka dan kepal serta pendarahan di bawah kulit
Batuk dan lemas
Pendarahan titik (ptechie) paa daerah dada, kaki, dan telapak kaki
Sakit tenggorokan dan sakit kepala
Batuk, bersin dan ngorok
Tidak nafsu makan dan muntah
Diare dan kematian tinggi
Nyeri perut dan nyeri sendi

Diare dan infeksi selaput mata (conjunctivitis)

Penyakit flu burung memiliki angka kematian tinggi, disebabkan karakteristik  virus H5N1 yang sangat ganas, hingga disebut sangat patogenik, cepat merusak organ dalam (terutama paru-paru), cepat berkembang dan menular pada unggas, dapat terjadi mutasi adaptif dan reasortment, serta mudah resisten terhadap obat anti viral (WHO., 2004).  Konfirmasi Laboratorium WHO Reference (Juli 2005-23 Februari 2006) menyatakan bahwa, Indonesia menempati urutan ke 2 dunia dengan angka fatalitas kasus (Case Fatality Rate), yaitu sebesar 70,3% (dari 27 kasus, 19 meninggal). Jumlah kasus konfirmasi flu burung dari referensi Laboratorium Nasional adalah 27 kasus, dan 19 diantaranya meninggal. Menurut jenis kelamin, 59,2% (16 kasus) adalah laki-laki, dan 40,8% (11 kasus) perempuan (Depkes, 2005).

Langkah - Langkah Epidemiologi

Dari konsep terjadinya penyakit flu burung dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kita dapat melakukan suatu kegiatan penyelidikan epidemiologi yang dapat dilakukan dengan :

1. Mengidentifikasi wabah
Menentukan apakah kasus flu burung tersebut wabah atau bukan. Wabah merupakan peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih banyak daripada keadaan normal di suatu area tertentu atau pada suatu kelompok tertentu, selama suatu periode waktu tertentu. Informasi tentang terjadinya wabah biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu laporan pasien, keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi informasi tentang terjadinya wabah bisa juga berasal dari petugas kesehatan, laporan kematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media lokal (suratkabar dan televisi). Pada dasarnya wabah merupakan penyimpangan dari keadaan normal karena itu wabah ditentukan dengan cara membandingkan jumlah kasus sekarang dengan rata-rata jumlah kasus dan variasinya di masa lalu (minggu, bulan, tahun).
Terjadinya wabah dan teridentifikasinya sumber dan penyebab wabah perlu ditanggapi dengan tepat. Jika terjadi kenaikan signifikan jumlah kasus sehingga disebut wabah, maka pihak dinas kesehatan yang berwewenang harus membuat keputusan apakah akan melakukan investigasi wabah. Sejumlah faktor mempengaruhi dilakukan atau tidaknya investigasi wabah: (1) Keparahan penyakit; (2) Potensi untuk menyebar; (3) Perhatian dan tekanan dari masyarakat; (4) Ketersediaan sumber daya. Flu burung menunjukan virulensi tinggi dan dapat mengakibatkan manifestasi klinis berat dan fatal jika tidak ditanggapi dengan langkah pengendalian yang tepat.

2. Mengidentifikasi hubungan adanya wabah dengan faktor Man, Time, and Place.
Mengidentifikasi siapa saja yang terkena flu burung. Dapat diidentifkasi dari jenis kelaminnya, pekerjaannya, umurnya. Orang yang high risk terhadap flu burung adalah pekerja peternakan/pemprosesan unggas (termasuk dokter hewan, dan lain lain), pekerja laboratorium yang memproses sample pasien/hewan terjangkit, pengunjung peternakan/pemprosesan unggas dalam satu minggu terakhir. Selain itu, mengidentifikasi place, yaitu tempat dimana penderita mendapat infeksi virus AI ini. Misalnya, jika terdapat peternak yang terjangkit flu burung maka kemungkinan tempat terjadinya transmisi virus ini adalah di kandang ternak tersebut. Selain itu identifikasi time, seperti kapan penderita mulai merasakan gejala-gejala yang tidak beres dalam tubuhnya.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan dilakukan dengan pengambilan sampel darah dii laboratorium. Pada dasarnya, dilakukan untuk  menilai keadan kesehatan penderita dan juga untuk memastikan bahwa penerita positif terkena penyakit flu burung. Pada pemeriksaan ini, antara lain akan dapat diketahui berapa kadar okesigen (O2) dan karbondioksida (CO2) di darah penderita. Jika oksigennya rendah, nilai normalnya 85-95 mmHg, dan atau karbondioksidanya tinggi, nilai normalnya 35-45 mmHg, maka dapat terjadi keadaan gawat napas. Dari data yang ada, sebagian besar pasien flu burung meninggal karena gawat napas akut ini. Upaya menemukan virus flu burung dapat dilakukan dengan pemeriksaan serologi untuk menilai respons antigen antibodi dan atau mengisolasi virusnya sendiri. Pada kasus flu burung juga dapat dijumpai peningkatan titer netralisasi antibodi dan dapat pula dilakukan analisis antigenik dan genetik, antara lain untuk mengetahui apakah sudah ada mutasi dari virus tersebut. Pada kasus yang terjadi di Hongkong (tahun 1997), diagnosis infeksi virus H5N1 dipastikan dengan ditemukannya virus. Lokasi diisolasinya virus ini ada pada usap tenggorok, cairan yang diisap dari trakea, aspirat saluran hidung tenggorok, dan ada pula virus yang ditemukan dari cairan bronko alveolar yang didapat dengan pemeriksaan bronkoskopi (memasukkan alat ini ke paru pasien).

4. Wawancara dan Epidemiologi Deskriptif
Wawancara bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan terjadinya flu burung. Dengan menggunakan kuesioner dan formulir baku, peneliti mengunjungi pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan wawancara dan dokumentasi untuk memperoleh informasi berikut: (1) Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jika ada); (2) Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan); (3) Kemungkinan sumber, paparan, dan kausa; (4) Faktor-faktor risiko; (5) Gejala klinis (verifikasi berdasarkan definisi kasus, catat tanggal onset gejala untuk membuat kurva epidemi, catat komplikasi dan kematian akibat penyakit); (6) Pelapor (berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil investigasi). Pemeriksaan klinis ulang perlu dilakukan terhadap kasus yang meragukan atau tidak didiagnosis dengan benar (misalnya, karena kesalahan pemeriksaan laboratorium).
Tujuan epidemiologi deskriptif adalah mendeskripsikan frekuensi dan pola penyakit pada populasi menurut karakteristik orang, tempat, dan waktu. Dengan menghitung jumlah kasus, menganalisis waktu, incidence rate, dan risiko, peneliti wabah mendeskripsikan distribusi kasus menurut orang, tempat, dan waktu, menggambar kurva epidemi, mendeskripsikan kecenderungan (trends) kasus sepanjang waktu, luasnya daerah wabah, dan populasi yang terkena wabah. Dengan epidemiologi deskriptif peneliti wabah bisa mendapatkan hipotesa penyebab dan sumber wabah.

5. Penanganan Wabah
Bila investigasi kasus dan penyebab telah memberikan fakta tentang penyebab, sumber dan cara transmisi maka langkah pengendalian hendaknya segera dilakukan. Dalam pelaksanaannya, hal pertama yang harus dilakukan adalah pemusnahan hewan yang telah terjangkit flu burung dengan cara membakar dan menguburnya. Tidak hanya unggasnya saja yang diabakar atau dikubur namun segala peralatan yang kemungkinan terkontaminasi juga harus segera dibakar atau dikubur, seperti pupuk kandang, tempat makan ternak dll. Bagi unggas yang sehat, dapat ditempatkan di kandang lain yang tertutup tanpa kontak dengan hewan lain, namun jika risikonya tinggi bisa saja unggas yang sehat tersbut dimusnahkan juga,  Setelah itu dapat dilakukan penyemprotan desinfektan di seluruh kandang. Sebagai petugas kesehatan, kita wajib untuk menenangkan masyarakat dan mensosialisasikan hal – hal apa saja yang harus dilakukan agar tidak tertular flu burung. Sejak awal tahun 2004, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang bersifat strategis dalam rangka pencegahan penyebaran virus, terdiri dari 9 (sembilan) tindakan yang harus dilakukan secara simultan. Kebijakan tersebut ditetapkan melalui Surat Keputusan Dirjen Bina Produksi Peternakan No. 17/Kpts/PD.640/F/02/04 tentang Pedoman Pencegahan,Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Avian Influenza (AI) pada unggas. Inti dari program tersebut adalah pelaksanaan sembilan tindakan strategis yang mencakup (1) Peningkatan biosekuriti; (2) Vaksinasi; (3) Depopulasi (pemusnahan terbatas) daerah tertular; (4) Pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas; (5) Surveilans dan Penelusuran; (6) Pengisian kandang kembali (restocking); (7) Stamping out (pemusnahan menyeluruh) di daerah tertular baru; (8) Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness); dan (9) Monitoring dan evaluasi
(1) Peningkatan biosekuriti
Biosekuriti merupakan cara untuk menghindari kontak antara hewan dan mikroorganisme. Tindakan biosekuriti yang berbeda-beda dapat diterapkan di lingkungan yang berbeda-beda pula. Contohnya, jika terdapat wabah flu burung dekat dengan peternakan anda, anda harus mengambil tindakan yang lebih sungguh-sungguh dibandingkan pada saat keadaan normal. Di dalam biosekuriti ada prinsip-prinsip dasar yang harus diikuti. Dengan mengikuti prinsip-prinsip dasar, peternakan akan tetap bebas dari penyakit. Prinsip-prinsip tersebut adalah

  1. Jagalah agar ternak unggas dalam kondisi baik
  2. Jagalah ternak unggas agar selalu berada dalam lingkungan yang terlindung
  3.  Periksalah barang-barang yang masuk ke peternakan
(2). Vaksinasi 
Vaksiniasi AI merupakan salah satu cara untuk menguarangi risiko akibat virus AI. Vaksinasi akan menguarangi umlah individu yang peka terhadap AI. Vaksinasi juga diyakini bisa menguranggi ekskresi (shedding) virus di tubuh unggas sehingga pengeluaran virus dari tubuh unggas bisa dikurangi. Vaksin AI bukan barang bebas sehingga penggunaannya harus di bawah pengawasan dokter.

(3). Depopulasi (pemusnahan terbatas atau selektif) di daerah tertular
Depopulasi merupakan pemusnahan unggas hidup dalam radius tertentu wilayah unggas yang terkena flu burung. Depopulasi dilakukan sesuai dengan standard operation program (SOP), ayam disuntik mati lalu dibakar dan dikubur. Hal ini dilakukan karena kekhawatiran penyakit bisa menular pada manusia. Depopulasi banyak menimbulkan pro kontra terkait dana kompensasi yang diberikan pemerintah.

(4). Pengendalian lalu lintas keluar masuk unggas
Membatasi jumlah unggas yang keluar masuk daerah tertentu.

(5). Surveillans dan tracking back
Penyelidikan Epidemiologi (pelacakan ke lapangan) dengan melakukan pelacakan kasus ke rumah penderita suspek Flu Burung, ke Rumah Sakit dan Unit Pelayanan Kesehatan lain dan masyarakat disekitar rumah penderita. Sasaran surveillance dan penulusuran unggas adalah spesies unggas yang rentan terhadap penyakit dan sumber penyebaran penyakit. Tujuan surveillance adalah sebagai berikut.
  1. Menetapkan suber infeksi di daerah baru tertular
  2. Menetapkan penyebaran atau perluasan penyakit di daerah tertular
  3. Memantau epidemiologi dan dinamika penyakit 
  4. Menetapkan perwilayahan (zooning) daerah bebas, daerah terancam.
  5. Mendeteksi tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) pascavaksiasi.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam kegiatan penelusuran (tracking back)

  • asal dan jenis unggas
  • produk daging, telur, bulu, tulang, darah, dan lain-lain
  • bahan perantara 
  • manusia meliputi peternak, petugas kandang, pedagang ternak, pengunjung, dll.

(6). Pengisian kandang kembali (restocking)
Di peternakan unggas yang telah melakukan pemmusnahan, baik secara depopulasi maupun steamping out, kandang yang kosong dapat diisi kembali (restocing) dengan syarat sebagai berikut : (1) kandang dapat diisi unggas kembali sekurang-kurangnya satu bulan setelah dilakukan pengosongan kandang (2) semua langkah yang diperlukan dilaksanakan sesuai dengan prosedur (3) bibit unggas harus berasal dari induk atau daerah yang bebas penyakit AI.

(7). Stamping out (pemusnahan menyeluruh) di daerah tertular baru
Stamping out dilakukan apabila suatu daerah baru terjangkit wabah penyakit flu burung. Tindakan pemusnahan menyeluruh (stamping out) dilakukan pada seluruh ternak unggas yang sakit maupun yang sehat di peternakan tertular dan terhadap semua unggas yang berada dalam radius satu kilometer dari peternakan yang tertular tersebut. 

(8). Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness)
Langkah ini sama pentingnya dengan langkah yang lain. Tanpa adanya kepedulian dari masyarakat tentang bahaya penyakit AI serta p
engertian dan pemahaman yang benar, sangat mustahil program pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit AI bisa berjalan sukses. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan peningkatan kesadaran masyarakat. Peningkatan kesadaran masyarakat dapat dilakukan dengan :
  • Melakukan sosialisasi atau kampanye penyakit flu burung kepada masyarakat dan peternak, mengingat dampak yang ditimbulkan flu burung baik secara ekonomis maupun kesehatan sangat merugikan
  • Proses sosialisasi bisa dilakukan melalui media elektronik, media cetak, menyebarkan brosur atau leaflet, menempelkan stiker dan poster serta memasang spanduk agar masyarakat tidak panik.
  • Membuat pusat krisis (crisis centre) dan jalur khusus (hotline) informasi mengenai flu burung di badan pemerintahan terkait
  • Mengadakan program pendidikan kepada masyarakat (educational programme) melalui seminar, penyuluhan atau pelatihan yang diselenggarakan berkat kerja sama dengan industry perunggasan dan asosiasi bidang peternakan.

contoh poster untuk high risk (peternak & penjaga kandang)

contoh poster untuk masyarakat awam
penyuluhan kepada masyarakat

kampanye peduli flu burung



(9). Monitoring dan evaluasi
Monitoring dilakukan untuk mengetahui perlembangan kegiatan, dampak, dan permasalahan yang timbul pada saat kegiatan dilaksanakan sehingga kekurangannya dapat disempurnakan pada kegiatan selanjutnya. Kegiatan monitoring dilakuakn oleh pusat dan daerah serta laboratorium. Diperlukan evaluasi yang kritis untuk mengidentifikasi berbagai kelemahan program maupun defisiensi infrastruktur dalam sistem kesehatan. Evaluasi tersebut memungkinkan dilakukannya perubahan-perubahan yang lebih mendasar untuk memperkuat upaya program, sistem kesehatan, termasuk surveilans itu sendiri.

Referensi :
A. Lumenta, Nico, dkk. Kenali Jenis Penyakit dan Cara Penyembuhannya : Manajemen Hidup                  Sehat. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2006
Bustan, M.N. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta, 2008
Fadilah, Roni, dkk. Beternak Unggas Bebas Flu Burung. Jakarta: Agro Media Pustaka.
Nasry Noor, Nur. Epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta, 2008
Siegel, Marc. Bird Flu: Everything You Need to Know about the Next Pandemic, atau Flu                          Burung : Serangan Wabah Ganas dan Perlindungan Terhadapnya, terj. Ary                             Nilandary. Bandung : Kaifa, 2006
Buku Petunujuk bagi Paramedik Veteriner, Pencegahan dan Pengendalian Flu Burung pada                        Peternakan Unggas Skala kecil
Departemen Pertanian. Upaya Pencegahan Penularan Flu Burung di Tempat Pemotongan                         Ayam. Jakarta: Deparemen Pertanian
http://surabaya.tribunnews.com/
http://solopos.com/
http://republika.co.id/
http://repository.usu.ac.id/
http://pianhervian.wordpress.com/

Oleh :
Fiana Faiqoh
Kelas C 2013
NIM 25010113130211

Mahasiswi FKM Universitas Diponegoro (UNDIP)


 

The Journey Template by Ipietoon Cute Blog Design