Akhir akhir ini masyarakat harus merasakan tingginya
harga bahan kebutuhan pokok di pasaran. Meskipun harga BBM sudah turun per 19
Januari 2015 lalu dan kembali naik hanya Rp 200,00 pada awal Maret, namun hal
tersebut tak berpengaruh banyak terhadap harga bahan kebutuhan pokok. Pemerintah
melalui Kementerian Perdagangan mengatakan bahwa pemerintah telah berhasil
menurunkan beberapa harga bahan pokok seperti beras medium, daging sapi, telur ayam ras, cabai merah
keriting serta cabai merah besar. Namun meskipun demikian, ada beberapa
kebutuhan bahan pokok lain yang masih belum bisa diatasi pemerintah. Sejumlah harga kebutuhan pokok bahkan terus
merangkak naik. Penyebab tingginya harga bahan kebutuhan pokok bukan hanya
karena kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM beberapa waktu lalu, namun juga
karena kurangnya pasokan atau kelangkaan barang. Kelangkaan bahan kebutuhan
pokok tersebut dipicu oleh tak adanya panen selama musim penghujan ini. Faktor
lain yang menyebabkan harga kebutuhan pokok naik adalah peningkatan biaya
produksi pada musim hujan yang bisa mencapai dua kali lipat dan aksi
spekulan penimbunan harga yang dilakukan beberapa oknum. Selain itu, tak semua bahan kebutuhan pokok berasal dari
dalam negri, banyak bahan kebutuhan pokok harus diimpor dari luar negri. Nilai
rupiah yang terus melemah membuat bahan kebutuhan pokok impor semakin mahal.
Kenaikan
harga bahan kebutuhan pokok tersebut sangatlah berpengaruh terhadap masyarakat
Masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak dapat lepas dari bahan kebutuhan pokok.
Hal itu memang karena dalam kehidupan sehari-hari masyarakat perlu mengonsumsi
bahan kebutuhan pokok untuk memenuhi asupan gizi bagi tubuh. Asupan itu
bermanfaat bagi tubuh agar tetap dalam kondisi tidak kekurangan gizi. Untuk
memenuhi kebutuhan pokok tersebut, selain persediaan juga dipengaruhi faktor
harga, yang berkaitan dengan daya beli masyarakat. Jika harga kebutuhan pokok
naik, praktis daya beli masyarakat akan menurun, akibatnya masyarakat akan
kesulitan atau bahkan tidak mampu untuk membeli bahan kebutuhan pokok sehingga
pemenuhan gizi masayarakat akan menurun. Terlebih pada masyarakat miskin, dengan
kondisi yang ada sebelumnya, masyarakat miskin tersebut sudah mengalami
kesulitan untuk membeli makanan bergizi, apalagi jika harga kebutuhan pokok naik
maka masyarakat miskin semakin kesulitan. Penghasilan yang kurang dan tingginya
harga bahan pangan membuat masyarakat miskin hanya sanggup untuk memenuhi
kebutuhan akan pangan pokok sebagai sumber energi dan menerapkan prinsip makan
asal kenyang. Hal ini menyebabkan mereka kurang memperhatikan nutrisi dan nilai
gizi yang terkandung dalam bahan makanan yang mereka konsumsi dan berdampak pada meningkatnya jumlah anak yang
mengalami gizi kurang dan gizi buruk.
Status
gizi anak secara tidak langsung berkaitan dengan faktor sosial ekonomi keluarga.
Jika status social ekonomi rendah maka kebutuhan makanan keluarga akan kurang
terpenuhi sehingga anak akan memiliki status gizi kurang. Kurang gizi pada awal
kehidupan karena kurangnya zat gizi yang diterima ibu saat mengandung dapat
menyebabkan janin mengalami kurang gizi dan lahir dengan berat badan rendah.
Anak yang lahir akan mempunyai konsekuensi kurang menguntungkan dalam kehidupan
berikutnya. Sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya angka Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) dan kurang gizi pada masa balita dan tidak adanya pencapaian
perbaikan pertumbuhan yang sempurna pada masa berikutnya, maka tidak heran apa bila
pada usia sekolah banyak ditemukan anak yang kurang gizi.
Pada
masa usia sekolah, anak membutuhkan lebih banyak zat gizi untuk pertumbuhan dan
beraktivitas. Hal ini disebabkan karena pada masa ini terjadi pertumbuhan fisik,
mental, intelektual, dan sosial secara cepat, sehingga golongan ini perlu mendapat
perhatian khusus.Faktor kecukupan gizi ditentukan oleh kecukupan konsumsi
pangan dan kondisi keluarga. Unicef dan Johnson (1992) membuat model interelasi
tumbuh kembang anak dengan melihat penyebab langsung, sebab tidak langsung dan
penyebab dasar. Sebab langsung adalah kecukupan makanan dan keadaan
kesehatan.Penyebab tidak langsung meliputi ketahanan makanan keluarga, asuhan
bagi ibu dan anak, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Penyebab yang paling mendasar dari tumbuh kembang anak adalah masalah struktur
politik dan ideologi serta struktur ekonomi yang dilandasi oleh potensi sumber daya.Disamping
itu, berbagai faktor sosial ekonomi ikut mempengaruhi pertumbuhan anak. Faktor
social ekonomi tersebut antara lain: pendidikan, pekerjaan, pendapatan
keluarga, budaya, dan teknologi. Fakor - faktor tersebut berinteraksi satu
dengan yang lainnya sehingga dapat mempengaruhi masukan zat gizi dan infeksi
pada anak. Pada akhirnya ketersediaan zat gizi pada tingkat seluler rendah dan
mengakibatkan pertumbuhan terganggu.
Jumlah
dan kualitas makanan keluarga ditentukan oleh tingkat pendapatan keluarga.Pada umumnya
kemiskinan menduduki posisi pertama sebagai penyebab gizi kurang, sehingga
perlu mendapat perhatian yang serius karena kemiskinan berpengaruh besar
terhadap konsumsi makanan. Kemiskinan atau pendapatan keluarga yang rendah
sangat berpengaruh kepada kecukupan gizi keluarga.Kekurangan gizi berhubungan
dengan sindroma kemiskinan. Tanda - tanda sindroma kemiskinan antara lain
berupa: penghasilan yang sangat rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan,
sandang, pangan, dan perumahan; kuantitas dan kualitas gizi makanan yang
rendah; sanitasi lingkungan yang jelek dan sumber air bersih yang kurang, akses
terhadap pelayanan yang sangat terbatas; jumlah anggota keluarga yang banyak,
dan tingkat pendidikan yang rendah.
Masyarakat
yang tergolong miskin dan berpendidikan rendah merupakan kelompok yang paling
rawan gizi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan untuk menjangkau pangan
yang baik secara fisik dan ekonomis. Kelompok anak usia sekolah merupakan salah
satu kelompok rentan gizi. Meskipun kelompok umur ini mempunyai kesehatan yang
lebih baik dibandingkan kesehatan anak balita, tetapi dalam kelompok ini dapat
timbul masalah - masalah kesehatan, seperti: berat badan rendah, defisiensi zat
besi, dan defisiensi vitamin E.
Anak
usia sekolah dengan kondisi ekonomi keluarga baik yang bersekolah di pusat kota
memungkinkan anak memiliki status kesehatan yang lebih baik.. Sedangkan, anak
yang bersekolah dan tinggal di daerah pinggiran kota dengan segala fasilitas
yang tersedia dan kondisi sosial ekonomi keluarga yang terbatas memungkinkan anak
mempunyai status kesehatan dan gizi yang buruk.
Gizi
merupakan salah satu faktor penentu kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.
Gizi diperlukan untuk membentuk manusia menjadi sehat, cerdas, kuat, dan
tangguh. Dalam hal ini pemenuhan terhadap gizi yang baik harus tetap menjadi mind-stream
pembangunan nasional. Keadaan gizi masyarakat yang buruk akan menghambat
tercapainya tujuan pembangunan. Mengingat dampak kenaikan harga kebutuhan pokok
terhadap gizi masyarakat, khususnya status gizi anak, maka pemerintah harus
melakukan langkah yang tegas dan konkrit untuk mencegah terjadinya gizi kurang
atau gizi buruk pada masyarakat jika pembangunan nasional tidak ingin
terganggu.
Kementrian
Kesehatan seharusnya membuat antisipasi khusus mengenai risiko terjadinya
kenaikan jumlah anak gizi kurang ketika harga bahan kebutuhan pokok terpantau
naik. Pemerintah juga harus lebih menggalakan dan memantau kebijakan mengurangi
angka gizi kurang atau gizi buruk yang telah ada, seperti kebijakan Gerakan Sadar Gizi Nasional (Scaling
Up Nutrition – SUN), pemberian makanan pendamping ASI bagi balita keluarga
miskin, pemberian raskin dan lain lain. Penggunaan layanan kesehatan dan tenaga
kesehatan juga harus diperhatikan dalam mengurangi masalah gizi kurang atau gizi buruk yang ada.
Selain
itu, pemerintah juga harus melakukan tindakan terkait dengan harga kebutuhan
pokok yang tak kunjung turun. Misalkan dengan dilakukan operasi pasar yang
rutin. Pengendalian harga pangan ini tak lepas dari kedaulatan pangan. Kunci
mewujudkannya adalah adanya satu visi-misi pada semua kementerian, dan lembaga
lain yang terlibat. Empat kementerian dan lembaga negara yang menangani
langsung pangan, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Keuangan, Ditjen Bea dan Cukai, serta Perum Bulog harus
bahu-membahu dan mengesampingkan ego sektoral. Kemdag bertugas memperbaiki
simpul-simpul distribusi. Sistem perdagangan dikontrol sehingga berjalan secara
sehat dan adil sehingga keuntungan dapat dirasakan oleh petani, bukan oleh para
pemburu rente. Sesuai amanat UU Perdagangan, pemerintah pun berkewajiban
menjaga pasar dan petani dalam negeri dari serbuan produk impor. Selaku pemberi
izin impor, Kemdag harus menjalin komunikasi dengan Kemtan sebagai pihak yang
merekomendasikan impor, Perum Bulog yang melakukan impor, serta Ditjen Bea
Cukai yang mengawasi masuknya barang impor. Sementara Kemtan menjaga produksi
pangan nasional. Keuntungan memproduksi sendiri pangan di dalam negeri adalah
menghindarkan ketergantungan dari impor sehingga Indonesia memiliki ketahanan
dan kedaulatan pangan. Memproduksi pangan di dalam negeri memberikan lapangan
kerja di desa dan kota melalui kegiatan di ladang hingga industri pengolahan. Peran
Bulog juga mesti diperluas dari yang selama ini hanya terfokus pada
pengendalian cadangan beras. Sistem penyimpanan bahan pokok sebagai cadangan
menghadapi ketidakpastian permintaan (buffer stock) oleh Bulog juga perlu
dilebarkan ke bahan pangan lain. Tak kalah penting adalah diversifikasi bahan
pokok. Kampanye berkaitan agar masyarakat tidak bergantung pada beras, sampai
saat ini, masih sangat minim. Pemerintah tampaknya belum memberikan perhatian
serius pada hal ini.
Idealnya bila pemerintah tegas dalam mengambil
keputusan dan semua kementerian serta lembaga menjalankan fungsinya dengan
benar, kendali terhadap harga pangan bakal berjalan dan anak yang mengalami
gizi kurang karena kesulitan membeli bahan makanan dapat terhindari. Bagaimanapun
negara harus memegang peran dalam produksi, konsumsi pangan serta pengendalian
harga.